Menyongsong Kurikulum Pendidikan 2009/2010 Kamis, 31 Agustus 2006
TEMPO Interaktif, Jakarta:Di tengah keprihatinan akan kualitas pendidikan kita saat ini, tim Olimpiade Fisika kita di Singapura beberapa waktu yang lalu berhasil mengukir prestasi yang sangat menakjubkan. Indonesia memperoleh empat emas dan satu perak serta salah satu di antara empat medali emas itu memperoleh nilai mutlak (the absolute winner). Pencapaian itu membukukan Indonesia sebagai juara dunia Olimpiade Fisika Internasional 2006.

Prestasi Indonesia dalam ajang olimpiade itu dapat dipandang sebagai salah satu wujud visi pendidikan berkualitas dan hal itu berlaku secara universal. Setiap negara menginginkan prestasi serupa. Namun sayang, tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada mereka yang ikut berlomba, pencapaian prestasi itu belum bisa merefleksikan kondisi pendidikan di Tanah Air yang sebenarnya.

Prestasi yang dicapai siswa yang menang dalam olimpiade itu hanya segelintir dari jutaan siswa yang kualitasnya masih memprihatinkan. Kenyataan ini antara lain terindikasi dari standar nilai kelulusan, seperti yang diungkapkan Wakil Presiden Yusuf Kalla saat melepas guru favorit Sumatera-Jawa, yang akan melakukan studi banding ke negara ASEAN pada Juli 2006.

Lebih jauh beliau mengatakan bahwa dari tiga mata pelajaran yang diujikan, yakni bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan matematika, nilai kelulusan yang ditetapkan minimal 4,25, sedangkan Malaysia memakai standar nilai kelulusan 6 dan Singapura 8. Posisi Indonesia hanya sebanding dengan Filipina (Koran Tempo, 17 Juli 2006).

Maka, dalam rangka mengejar ketertinggalan kualitas pendidikan kita, pemerintah terus berupaya meningkatkan standar kelulusan 0,5 poin setiap tahun. Dengan demikian, pada 2009/2010 diharapkan kualitas pendidikan kita paling tidak menyamai Malaysia. Keseriusan pemerintah mengejar pendidikan berkualitas itu tampaknya bukan sekadar wacana. Hal ini terindikasi dengan dikeluarkannya peraturan nomor 22 dan 23 tahun 2006 oleh Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo.

Dalam peraturan itu antara lain dituliskan, guru sekolah harus menentukan kurikulum sendiri, dengan memperhatikan ciri khas, keunggulan, dan keunikan masing-masing siswa (Koran Tempo, 17 Juli 2006). Konkretnya, untuk memacu kualitas pendidikan, pemerintah akan menerapkan pendidikan berbasis kompetensi.

Tentu, dalam rangka menyongsong kurikulum pendidikan 2009/2010, kita perlu mempersiapkannya secara cermat agar hal itu tidak menjadi sekadar wacana. Pemerintah perlu menyiapkan minimal petunjuk teknis tentang batasan secara umum pendidikan berbasis kompetensi. Terkait dengan hal itu, ada dua hal yang perlu dicermati, yaitu faktor kurikulum dan faktor siswa.
0 Responses

Posting Komentar