Guru Bimbingan Dan Penyuluhan
Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian SEKOLAH / SCHOOLS.
Nama & E-mail (Penulis): Isjoni
Saya Dekan di FKIP UNRI
Tanggal: 04 Nopember 2003
Judul Artikel: Guru Bimbingan dan Penyuluhan
Topik: Guru BP

GURU BP
Hampir di setiap sekolah terutama di tingkat SLTP maupun SMU/SMK terdapat guru BP, apakah memang guru yang ditunjuk sebagai guru bimbingan dan penyuluhan lulusan program studi Bimbingan dan Penyuluhan atau guru bidang ilmu lainnya yang ditunjuk oleh kepala sekolah untuk menjadi guru bimbingan dan penyuluhan.

Terlepas dari itu, yang jelas guru Bimbingan dan Penyuluhan adalah guru yang memiliki tugas yang sama dengan guru bidang studi lainnya, yakni bagaimana upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Guru Bimbingan dan Penyuluhan tentunya memiliki trik-trik tertentu, bagaimana proses pembelajaran anak dapat meningkat, dan tentunya memiliki kita tersebdiri pula bagaimana mencari tahu permasalahan anak didik, sehingga dapat mempengaruhi hasil belajar.

Pemerintah tentunya memiliki tujuan mengapa di sekolah diperlukan guru Bimbingan dan Penyuluhan. Adapun tujuan bimbingan dan penyuluhan pada hakikinya sama dengan tujuan pendidikan nasional itu sendiri. Bimbingan dan penyuluhan itu merupakan proses pemberian bantuan yang ditujukan agar anak didik mampu memahami diri, mengenal lingkungan, dan mampu merancang masa depannya.

Seorang anak didik dikatakan memiliki kemampuan memahami dirinya bilamana yang bersangkutan menunjukan kemampuan yang tinggi terhadap kekuatan dan kelemahan yang ada pada dirinya, bakat dan minatnya, serta karakteristik pribadi lainnya. Sedangkan kemampuan pengenalan anak didik terhadap lingkungan diindikasikan oleh kemampuannya dalam mengenal lingkungan dan fasilitas yang ada di sekolah, di rumah dan di masyarakat, serta kemampuannya memanfaatkan lingkungan tersebut secara optimal bagi kemajuan belajarnya. Sementara itu, bilamana anak didik memiliki kemampuan di dalam merancang masa depannya, bila yang bersangkutan menunjukan kemampuannya dalam mempertimbangkan berbagai alternatif yang ada sesuai dengan karakteristik pribadi serta peluang yang ada, serta memiliki kemampuan di dalam pengambilan keputusan yang tepat.

Jadi, sejalan dengan pengertian bimbingan dan penyuluhan itu sendiri, upaya bimbingan dan penyuluhan ditujukan agar anak didik mengenal dan menerima diri sendiri serta mengenal dan menerima lingkungannya secara positif dan dinamis serta mampu mengambil keputusan, mengamalkan dan mewujudkan diri sendiri secara efektif dan produktif sesuai dengan peranan yang diinginkannya di masa depan.

Sebagai guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah, tentunya terlebih dahulu memahami akan hakiki dari bimbingan dan penyuluhan itu sendiri, apa tujuannya, bagaimana fungsi dan perannya di sekolah, setidak-tidak ada empat fungsi utama guru BP, diantaranya : pemahaman individu dengan segala karakteristiknya, fungsi pencegahan, yakni mencegah perilaku negative yang dapat menghambat perkembangannya, fungsi pengentasan, yakni memberi bantuan dalam mengentasankan permasalahannya, serta fungsi pemeliharaan dan pengembangan, yakni bagaimana memelihara dan dan mengembangkan potensi yang ada pada diri anak didik.

Guru yang ditunjuk sebagai petugas BP, kebetulan bukan lulusan BP, perlu lebih memahami tentang prinsip-prinsip pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan itu sendiri, pertama berkenaan dengan sasaran pelayanan itu sendiri, tidak membedakan etnis, umur, agama dan status ekonomi. Prinsip yang berkenaan dengan permasalahan individu, yakni bagaimana anak didik mampu menyesuaikan dirinya di rumah, sekolah dan masyarakat, baik factor ekonomi maupun budaya. Selanjutnya prinsip yang berkenaan dengan program pelayanan, yakni bahwa BP merupakan bagian integral dari upaya pendidikan dan pengembangan individu, fleksibel, berkelanjutan, perlu evaluasi.

Bila dihayati dan dicermati secara seksama, bahwa guru Bimbingan dan Penyuluhan eksistensinya sangat diperlukan. Apa lagi ke depan kita permasalahan semakin kompleks, baik lingkup internasional, regional, maupun nasional. Kini kita dalam era globalisasi, dan tentunya dampak dari semua itu akan berpengaruh terhadap perkembangan anak didik kita. Tingkat kerawanan yang menimpa anak didik perlu selalu dikuatirkan, dan tentunya guru Bimbingan Penyuluhan banyak lebih tahu bagaimana kondisi anak didiknya. Guru Bimbingan Penyuluhan ikut bertanggungjawab secara moral untuk mengantisipasi agar anak didiknya tidak terbawa arus oleh dunia global yang lebih bersifat negative, arahkan kea rah yang lebih bersifat positif, dan berikan arahan dan bekal agar anak didik memiliki kekebalan terhadap bermacam-macam penyakit social, yang terus melanda dunia, dan tentunya termasuk negeri kita.

Bila kita mendengar suatu ikrar yang dilakukan oleh lulusan mahasiswa program studi Bimbingan dan Penyuluhan FKIP UNRI pada setiap acara temu ramah antara mahasiswa dengan pimpinan FKIP UNRI. Apa yang tersirat di dalam pernyataan itu, tidak lain adalah bahwa lulusan BP akan menjadi konselor dengan penuh tanggungjawab, dan tentunya janji tersebut akan diimplementasikan di dalam menjalankan tugas keseharian sebagai guru BP yang profesional.

Guru BP hendaknya ada disetiap sekolah, mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan menengah. Karena pada kondisi ini tingkat kerawanan social cukup tinggi, dan kondisi anak pada proses perkembangan kejiwaan. Anak didik pada kondisi ini belum memiliki daya antisipasi yang kuat, di dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Arus komunikasi dan informasi melalui multi media (Televisi, internet) sangat berpengaruh terhadap sikap mental anak didik. Bila mereka sudah diberikan bekal yang cukup, termasuk peran guru BP, di samping orang tua, dan masyarakat, maka apapun dampak dari modernisasi tersebut, akan dapat disaring secara positif oleh anak didik. Semua itu akan menjadi proses pembelajaran anak didik agar ia dapat tumbuh dan berkembang secara dewasa.

Dan ini berarti tanggungjawab peningkatan mutu pendidikan merupakan tugas kita bersama, termasuk pula guru Bimbingan dan Penyuluhan. Semoga.
SMK dan Permasalahannya
Bahan ini cocok untuk Sekolah Menengah bagian SEKOLAH / SCHOOLS.
Nama & E-mail (Penulis): isjoni
Saya Dekan di FKIP UNRI
Tanggal: 04 November 2003
Judul Artikel: SMK dan Permasalahanya
Topik: Guru SMK

SMK DAN PERMASALAHANNYA
SMK merupakan salah satu lembaga pendidikan yang bertanggungjawab untuk menciptakan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan, keterampilan dan keahlian, sehingga lulusannya dapat mengembangkan kinerja apabila terjun dalam dunia kerja. Pendidikan SMK itu sendiri bertujuan "meningkatkan kemampuan siswa untuk dapat mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian, serta menyiapkan siswa untuk memasuki lapangan kerja dan mengembangkan sikap profesional".

Apapun jenis pendidikan pada Sekolah Menengah Kejuruan tidak lain muara dari lulusannya agar mereka memiliki kemampuan, keterampilan serta ajli di dalam bidang ilmu tertentu. Selanjutnya mampu dan terampil diaplikasi untuk dunia kerja. Oleh sebab itu, hakiki dari Sekolah Menengah Kejuruan sangat berbeda dengan SMU/SMA.

Ada dua hal sebenarnya kelebihan dari Pendidikan Menengah Kejuruan ini, pertama lulusan dari institusi ini dapat mengisi peluang kerja pada dunia usaha/industri, karena terkait dengan satu sertifikasi yang dimiliki oleh lulusannya melalui Uji Kemampuan Kompetensi. Dengan sertifikasi tersebut mereka mempunyai peluang untuk bekerja. Kedua, lulusan Pendidikan Menengah Kejuruan dapat untuk melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi, sepanjang lulusan tersebut memenuhi persyaratan, baik nilai maupun program studi atau jurusan sesuai dengan kriteria yang dipersyaratkan.

Sekolah Menengah Kejuruan ke depan akan berkembang, sejalan dengan keinginan pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mendirikan sekolah. Karena dengan pola Otonomi Pendidikan yang diberlakukan seperti sekarang ini, maka masyarakat juga memiliki tanggungjawab moral untuk memikirkan dan menumbuhkembangkan pendidikan. Sehingga lebih dikenal dengan Pendidikan Berbasiskan Masyarakat (community based education).

Terlihat dan teramati di lapangan, dengan banyak jumlah Sekolah Menengah Kejuruan yang berdiri, baik di kota propinsi maupun kabupaten kota, menimbulkan fenomena baru, yakni kekurangan tenaga pengajar, khususnya untuk bidang ilmu teknologi dan bisnis.

Coba kita bayangkan, kelipatan jumlah SMK Negeri dengan SMK Swasta suatu ketika khususnya di Riau bisa satu berbanding lima (1:5), artinya satu SMK negeri lima SMK swasta. Sehingga bermunculah SMK-SMK Swasta dengan berbagai jenis dan program pendidikan, mulai dari program teknologi, bisnis, pariwisata dan perhotelan, pertanian, perikanan, komputer, tata boga/busana, dan lain sebagainya.

Dari kondisi ini, perlu kita simak, dengan bermunculan begitu banyak SMK-SMK tersebut, apakah sudah terpikirkan oleh kita, unsur pelaksana lapangan, atau orang yang bertanggungjawab untuk mendidik, mengajar dan melatih mereka, dalam hal ini "guru". Karena salah satu persyaratan untuk pendirian sekolah swasta, tidak terlepas dari persyaratan formal adalah tenaga pengajar.

Tenaga pengajar (guru) merupakan faktor dominan di dalam memberian izin pembukaan sekolah swasta. Kita menyadari bahwa ke depan SMK Kejuruan merupakan lembaga yang akan diminati oleh lulusan SLTP, karena dalam persaingan era globalisasi dan pasar bebas, sangat diperlukan siswa yang memiliki kemampuan dan keterampilan yang siap bina dan siap pakai. SMK Kejuruanlah sebagai salah satu lembaga yang menelorkan seperti yang diinginkan oleh dunia kerja.

Tapi, tentunya kita jangan melupakan unsur utamanya yakni guru, apakah guru-guru sebagai pelaksana lapangan sudah dimiliki oleh SMK tersebut ? Kalah kita mau jujur, jumlah guru-guru SMK yang ada dengan jumlah SMK yang ada tidak seimbang, artinya SMK masih kekurangan banyak tenaga guru di semua bidang keilmuan.

Bila kita menilik ke belakang, artinya lebih di fokuskan kepada LPTK sebagai pencetak tenaga guru, khususnya pada sekolah kejuruan, sangat, sangat tidak memadai. Oleh sebab itu tidak heran bila kita melihat satu orang guru mengajar untuk tiga atau empat sekolah kejuruan. Selama ini, kita menerima lulusan LPTK di luar Riau, katakanlah dari Sumatera Barat, Medan, Pulau Jawa, dan sebagainya.

Oleh sebab itu, pada suatu kesempatan Dekan FKIP UNRI di undang sebagai nara sumber pada Seminar Sehari yang di taja SMK 1 Pekanbaru, yang dilaksanakan di Hotel Arya Duta, di tantang oleh Kepala-kepala sekolah Kejuruan se Riau, apakah FKIP UNRI sebagai tenaga pencetak guru tidak punya niat, atau membiarkan kondisi kekurangan guru Kejuruan ini terus berlarur-larut. Kiranya FKIP UNRI harus sudah memikirkan ini, kami siap mendukung dan memberikan masukan, bahkan sekolah kamipun siap untuk dijadikan sebagai tempat praktek mahasiswa, kata beberapa kepala sekolah.

Jujur kita katakan bahwa, hal ini merupakan salah satu kepihatinan dari kepala sekolah, dan ini akan menjadi pemikiran kita bersama. Bila secara bersama kita mendukung mengapa tidak, kita bisa membuka program-program studi teknologi, bisnis dan perdagangan, kesejahteraan keluarga, dan program-program inilah mendesak untuk dipikirkan. Tentunya untuk membuka program studi-program studi tersebut memiliki persyaratan-persyaratan, dan apa yang menjadi keluhan para kepala sekolah tersebut akan menjadi pekerjaan rumah yang harus dipikirkan dan diwujudkan.

Gayung bersambut, Rektor Universitas Riau Prof.Dr.Muchtar Achmad,MSc menyatakan dukungannya, ditambah lagi beberapa surat dukungan dari SMK Kejuruan se Riau, dan tentunya dalam kondisi ini Dinas Pendidikan Propinsi Kabupaten/kota juga ikut mendukung.

Kita berharap, kiranya kekurangan guru di SMK-SMK Kejuruan yang ada di Propinsi Riau dapat diatasi, dukungan moral dari semua pihak, baik pemerintah daerah, swasta, maupun pengusaha sangat diharapkan, bila kita ingin meningkatkan SDM Riau. Semoga
Sekolah Kehidupan Berbasiskan Realitas
Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan.
Nama & E-mail (Penulis): Lidus Yardi SpdI
Saya Pengamat di Kuansing, Riau
Tanggal: 24 Januari 2004
Judul Artikel: Sekolah Kehidupan Berbasiskan Realitas
Topik: Mengkritisi Program Sekolah "Fullday"

Sekolah Kehidupan Berbasiskan Realitas (Kritik Atas Gagasan Program "Fullday")
oleh Lidus Yardi

Sadar atau tidak sadar, kebanyakan sekolah di tanah air saat ini sedang melaksanakan program yang disebut sebagai "fullday". Program fullday yang dimaksud adalah di mana proses pembelajaran dilaksanakan sehari penuh di sekolah yang dilaksanakan oleh pihak sekolah. Dengan kebijakan seperti ini maka waktu dan kesibukan anak-anak lebih banyak dihabiskan di lingkungan sekolah ketimbang di rumah. Anak-anak dapat berada di rumah lagi bila menjelang sore.

Alasan positif yang dapat dikemukakan bila program fullday dilaksanakan, yaitu anak-anak akan menghabiskan waktunya hampir sehari penuh bersama guru dan temannya, yang kemudian dapat membentuk tata pergaulan dan ukhwah dalam suasana interaksi dan sosialisasi yang bernuansa akademis. Di samping itu, anak didik juga terhindar dari tawuran antarsekolah dan kegiatan yang tak bermanfaat di rumah.

Sedangkan dampak negatif program fullday yang dikemukakan adalah, anak didik akan kelelahan setiba di rumah, kemudian tidur, dan malamnya pun mereka dituntut untuk belajar. Artinya, tidak efektifnya waktu di rumah untuk anak-anak dengan dilaksanakannya program fullday di sekolah. Oleh sebab itu di sini dituntut kearifan para orang tua di rumah. Demikianlah menurut sebagian ahli pendidikan tentang program fullday ini. Meskipun demikian program fullday dinilai lebih banyak manfaatnya, karenanya ia terus di praktekkan. Alasan lain dari perlunya program fullday adalah untuk memacu perkembangan sumber daya manusia, karenanya pula pihak sekolah yang mempraktekkan program itu tidak merasa memiliki "dosa".

Padahal, yang terbayang dari gagasan ini adalah bahwa anak didik seakan-akan hanya memerlukan suasana akademis yang penuh dengan peraturan dan pengawasan, serta tetek bengek urusan sekolah lainnya. Konsekwensi dari diadakannya program fullday itu yang terparah adalah, anak didik akan jauh dan tidak memiliki waktu yang cukup untuk berinteraksi dengan realitas kehidupan yang seharusnya ia hadapi. Dengan demikian dapat dibayangkan, program fullday akan melahirkan produk anak didik yang jauh dari kehidupan nyata. Sadar dengan urusan akademis tapi buta dengan urusan dunia luarnya. Bermain dengan segudang rumusan dalil dan teori namun tidak kritis dengan fenomena yang terjadi di sekitar lingkungannya. Ia keluar dari pabrik bernama sekolah bak sebuah robot yang digerakan dengan remot kontrol, tiada kemandirian (demikian bila meminjam bahasa-bahasa Ivan Illich atau Paulo Freire tentang dunia pendidikan).

Tidak jarang dijumpai, apa yang didapatkan (anak didik) di sekolah bertentangan dengan kenyataan yang ada di luarnya. Menurut hemat saya, tawuran antarpelajar muncul bahkan karena sekolah tempatnya belajar telah membentuk sikap egois yang menganggap teman itu hanya yang satu sekolah saja. Anak lain yang tidak sama sekolahnya lalu dianggap sebagai musuh. Hal ini disebabkan karena mereka terbiasa dan dibentuk oleh suasana akademis masing-masing, sehingga sulit menerima perbedaan atau realitas yang ada. Dari sini, belum tentu dengan program fullday di sekolah akan dapat menghindari tawuran antarpelajar di sekolah. Bukankah tawuran antarpelajar selama ini sering dalam keadaan memakai seragam, dan waktu belajar di sekolah?.

Sekolah Kehidupan

Berangkat dari persoalan di atas, saatnya anak didik diberikan kesadaran akan adanya "sekolah kehidupan". Sekolah yang ada bukan hanya berbentuk huruf "L" atau "U" dengan segudang peraturan di dalamnya. Yang terkadang juga membuat bingung para orang tua karena banyaknya urusan yang harus dipenuhi. Sekolah kehidupan adalah realitas baik-buruk yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Setiap orang (akan) menghadapi dan menjalaninya. Fenomena kehidupan yang ada berfungsi mendewasakan pikiran untuk menentukan sebuah pilihan hidup di antara proses berpikir yang dianugerahi Tuhan.

Setiap orang diberikan kebebasan untuk belajar di sekolah kehidupan dan dengan itu menentukan jalan hidupnya. Dalam sekolah kehidupan yang menjadi materi pembelajaran adalah baik-buruk realitas itu sendiri, dan yang menjadi guru adalah pribadi masing-masing. Oleh sebab itu tidak ada yang patut bertanggung jawab dan disalahkan dalam menentukan sebuah pilihan yang telah ditetapkan oleh masing-masing individu. Dengan demikian manusia dituntut mengadakan interaksi dengan lingkungannya, belajar dari pengalamannya, dan merancang masa depannya. Realitas yang ada itulah yang menjadi basis bagi sekolah kehidupan.

Sulit untuk dipungkiri bahwa, di sekolah kehidupan inilah tempat di mana setiap orang ditentukan sukses atau gagal. Banyak orang yang pintar, berprestasi, memiliki bermacam gelar, tapi banyak pula yang gagal menerima kenyataan kehidupan yang harus dihadapinya. Dia gagal di sekolah kehidupan. Karena ia tidak memiliki persiapan untuk itu. Sebaliknya, banyak pula orang yang sukses dalam sekolah kehidupan ini meskipun prestasinya di sekolah (dalam arti sesungguhnya) biasa-biasa saja. Karena mereka sadar dengan realitas yang dihadapinya sehingga ia tahu benar bagaimana pula cara menghadapinya.

Jelas sudah, bahwa lembaga sekolah bukanlah satu-satunya sumber ilmu pengetahuan dan kunci keberhasilan seseorang. Dengan demikian, sudah saatnya anak didik dikembalikan kepada realitas kehidupan dengan pengajaran atau Manajemen yang Berbasiskan Realitas (MBR) di sekolah, serta diberikan waktu yang cukup baginya untuk belajar dari realitas itu. Agar anak didik setelah ke luar dari sekolah tidak gagap menerima kenyataan yang ada.

Sebuah Alternatif

Ahli pendidikan dari Brazil, Paulo Freire (1999), lewat pemikiran kritisnya terhadap sistem belajar di sekolah setidaknya menyadarkan kita. Menurut Freire, pendidikan di sekolah selama ini telah menjadikan anak didik sebagai manusia-manusia yang terasing dan tercerabut dari realitas dirinya sendiri dan realitas dunia sekitarnya. Karena sekolah telah mengajarkan anak didik menjadi seperti (orang lain) bukan bagaimana menjadi dirinya sendiri. Ia hanya diberikan kemampuan merubah "penafsiran" seseorang untuk situasi yang dihadapinya, namun tidak mampu merubah "realitas" dirinya sendiri. Oleh sebab itu, bagi Freire, penting bagi anak didik untuk diberi kesempatan mengadakan interaksi dan dialektika dengan sebuah realita yang lebih membebaskan.

Ivan Illich (2000) lewat bukunya Deschooling Society bahkan melihat perlunya masyarakat dibebaskan dari belenggu sekolah. Yaitu suatu kebebasan dari kecendrungan masyarakat yang menganggap bahwa sekolah hanyalah satu-satunya sebagai lembaga pendidikan dan sumber pengetahuan ilmu. Untuk itu, untuk menolong anak didik memiliki kesadaran akan sebuah realitas, maka lembaga sekolah yang ada harus memberikan pengajaran yang berbasiskan realitas kehidupan. Bukan jauh dari realitas atau antirealitas.

Suatu realitas yang ditangkap dengan intelek akan selalu berubah terus, dinamis dan bersifat terbatas, baik dari sudut waktu, ruang maupun bidangnya (Musa Asy'arie, Kompas, 9 Juli 2002). Sebab itu teori atau rumusan dalil yang dipelajari dan diberikan kepada anak didik di sekolah tidak bisa diandalkan sepenuhnya untuk menghadapi realitas itu. Yang diperlukan adalah bagaimana pemahaman anak didik terhadap realitas, bukan bagaimana menghafal teori-teori dan rumusan dalil yang belum tentu sesuai dengan realitas itu sendiri. Untuk mendukung ke arah itu, tentu anak didik diberikan kesempatan untuk berinteraksi dengan realitas. Bukan sebaliknya terkungkung dengan suasana akademis seharian.

Bukankah fungsi pendidikan pada hakikatnya menolong setiap individu anak didik agar mampu menjadi anggota masyarakat yang baik serta berhasil guna dengan cara mengajarkan pengalaman masa lalu dan pengalaman masa kini kepadanya. Bagaimana mungkin akan diajarkan pengalaman masa lalu dan masa kini bila anak didik sendiri jauh dari praktek (realitas) tempat di mana pengalaman itu berlangsung. Dan pengalaman akan dinamakan pengalaman bila setiap orang pernah melalui dan merasakannya, yaitu dalam sebuah kenyataan hidup.

Berangkat dari pandangan seperti ini, maka gagasan program fullday sangatlah kurang --kalau tidak setuju dikatakan tidak-- sesuai dengan prinsip realitas kehidupan yang selalu berubah dan dinamis. Kehidupan yang akan dilalui bagi anak didik ke depan bukanlah kehidupan yang dibentuk oleh sebuah kondisi sekolah, lebih dari itu beraneka corak realitas akan ditemuinya. Dengan demikian, saatnya sekolah melakukan gerakan kesadaran tentang adanya sebuah realitas kehidupan ("sekolah kehidupan") yang menentukan sebuah keberhasilan dan kesuksesan, tentu, dengan cara "mengembalikan" anak-anak ke realitas kehidupan itu sendiri.
Wallahua'lam.***
Lidus Yardi SPd adalah Peminat masalah sosial-keagamaan,
Bermastautin di Riau
Menggairahkan Nafsu Belajar Siswa Melalui Penciptaan Nilai Estetika
Judul: Menggairahkan Nafsu Belajar Siswa Melalui Penciptaan Nilai Estetika
Bahan ini cocok untuk Sekolah Dasar bagian SEKOLAH / SCHOOLS.
Nama & E-mail (Penulis): Mohammad Juri,S.Pd, MMPd
Saya Guru di Sekolah Dasar Kecamatan Omben Kabupaten Sampang - Jawa Timur
Topik: Menggairahkan Nafsu Belajar Siswa Melalui Penciptaan Nilai Estetika
Tanggal: 19 Desember 2008

Menggairahkan Nafsu Belajar Siswa dengan Penciptaan Lingkungan Belajar Bernilai Estetis Pengelolaan kelas dan lingkungan yang memanfaatkan nilai estetika merupakan merupakan langkah inovatif untuk menggairahkan nafsu belajar siswa dan menghapus langkah konvensional

Oleh : Mohamad Juri,S.Pd, MMPd
Guru Sekolah Dasar SDN Omben II
Sampang Madura

Sering kita temukan dilapangan bahwa kondisi persekolahan kita, khususnya Sekolah Dasar dikelola apa adanya dan ala kadarnya. Terutama hal yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan sekolah dan keadaan ruangan kelas. Seperti terlihat pada kondisi ruang kelas yang ditata monoton dan konvensional , dengan tampilan apa adanya seperti tampak pada pengecatan dinding sekolah ataupun ruangan kelas yang kebanyakan dicat dengan warna putih polos, kuning polos, dan warna -warna lain yang serba polos. Ini sudah lumayan bagus, artinya kondisi kelas yang demikian sudah terlihat bersih. Gambar - gambar yang dapat menciptakan nuansa keindahan dan nuansa lain dari suatu kegiatan dan kebiasaan yang bersifat konvensional jarang kita temukan.

Memang kita sadari bahwa eksistensi persekolahan di negara kita tercinta ini cukup bervariasi, mulai dari yang tidak layak pakai mungkin karena dinding mau roboh, genteng yang mau berjatuhan, plafon banyak yang jebol, dan siap untuk berjatuhan dan berbagai kondisi lain yang sangat memprihatinkan. Pada kondisi yang semacam ini penulis tidak bisa banyak berkomentar, hanya harapan penulis kondisi yang sedemikian parah semacam ini segera dibenahi dan ditangani. Karena bagaimana bisa kita menciptakan suatu lingkungan yang indah kalau kondisinya saja sangat memprihatinkan. Namun tidak berarti bahwa komunitas yang ada pada sekolah yang ada pada kondisi yang demikian menjadikan guru dan warga sekolahnya menjadi kehilangan kreatifitas untuk menciptakan hal -hal yang inovatif demi terciptanya lingkungan belajar yang indah, asri dan elok dipandang mata sehingga pada akhirnya tercipta suasana yang menyenangkan.

Pendapat penulis melalui artikel ini mengacu pada adanya suatu inovasi, yaitu bagaimana mengoptimalkan kondisi kelas ( classical conditioning ) dan penciptaan lingkungan sekolah agar dapat dipakai dan dimanfaatkan, dan dioptimalkan sehingga merupakan bagian yang tidak terpisahkan atau merupakan bagian yang integral dengan kegiatan pembelajaran. Artinya ruangan kelas jangan hanya menjadi dinding pembatas yang membatasi siswa di ruang kelas pada satu sisi, dengan lingkungan di luar kelar kelas pada sisi lain. Demikian pula dengan lingkungan sekitar sekolah, terutama dinding - dinding sekolah jangan hanya menjadi benda mati yang menjadi dinding pemisah antar lokal yang satu dengan lokal yang lain, atau menjadi pembatas antara lingkungan sekolah sendiri dengan lingkungan luar sekolah.

Langkah inovatif yang dapat dilakukan dan telah penulis lakukan adalah bagaimana eksistensi dinding -dinding kelas yang pada dasarnya benda mati tersebut menjadi bermakna dan berbicara terhadap siswa pada khususnya dan bagi seluruh warga sekolah pada umumnya. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana menciptakan dinding - dinding sekolah dan ruang - ruang kelas yang mati ini menjadi lebih hidup, menjadi bermakna, dan pada akhirnya dapat menggairahkan nafsu belajar siswa ? Jawaban dari pertanyaan ini merupakan ide pokok dari eksistensi dari artikel ini sendiri.

Jawaban dari pertanyaan diatas tidak lain adalah diperlukan suatu langkah kreatifitas dari seorang guru, dan hal ini tentunya merupakan suatu langkah inovatif yang pada kenyataannya akan berbeda dengan kondisi realita dan mayoritas yang ada di lapangan saat ini. Pada kebanyakan orang dan pada kebanyakan guru bisa saja hal ini dianggap kegiatan yang mengada -ada. Namun justru disinilah letak nilai inovatif itu sendiri muncul, sebab kegiatan yang bersiafat inovatif akan dirasakan hal yang asing oleh orang lain, sebab hal semacam itu sebelumnya jarang atau bahkan mungkin belum ada.

Pertanyaan yang mungkin timbul yaitu bagaimana, dan kreatifitas semacam apa yang dapat membedakan kondisi ruang kelas dan kondisi lingkungan sekolah konvensional dengan kondisi ruang kelas dan lingungan sekolah yang disentuh dengan nuansa kreatifitas sehingga memiliki nuansa estetis dan bermakna bagi siswa ?

Kegiatan yang telah penulis lakukan dan hal ini merupakan suatu keniscayaan untuk dilakukan juga oleh teman -teman guru di lapangan , yaitu dengan memberikan sentuhan - sentuhan seni pada dinding - dinding ruang kelas, gedung , dan pagar sekolah. Sentuhan seni itu berupa penuangan warna- warna ceria, serasi dan kolaborasi beberapa warna pada dinding kelas ataupun dinding sekolah. Tidak hanya sampai disini disamping pemaduan beberapa warna ceria yang relevan dengan dunia anak, kita juga harus mengisi ruang -ruang yang kosong dari dinding tersebut, dengan lukisan yang sengaja dibuat oleh guru, bersifat monomental dan bernilai estetis. Disamping itu dapat dipadukan gambar- gambar yang bervariasi dan relevan dengan pembelajaran. Relevan dengan pembelajaran maksuknya gambar yang dituangkan merupakan upaya untuk mendekatkan anak dengan materi pelajaran yang dipelajari pada kelas tertentu, misalnya pada pelajaran IPA, ada meteri-materi tertentu yang bisa berupa sajian gambar yang menarik siswa bila dituankan pada dinding sekolah, seperti : gambar gerhana, solar sistem, simbiosis, pertumbuhan tumbuhan, cara - cara perkembangbiakan, dan lain -lain. Demikian juga seperti materi pelajaran IPS seperti gambar tipe -tipe hewan:

Asiatis , Peralihan, Australis, dan gambar bendera dan lambang ASEAN, merupakan gambar yang sangat menarik bagi siswa. Apabila materi semacam ini disajikan berupa lukisan atau gambar yang menarik pada dinding sekolah, materi tersebut pada akhirnya bukan merupakan hal yang asing bagi siswa. Sebab setiap hari dan setiap saat siswa dapat mengamati dan melihatnya. Hal itulah yang dimaksudkan oleh penulis bahwa supaya dinding sekolah dan ruang kelas menjadi suatu yang integral dengan kegiatan pembelajaran bernuansa estetis dan menyenangkan .

Lukisan yang tertuang harus menciptakan nuansa dan nilai keindahan artinya bila kita memandang lukisan itu dapat tercipta suasana batin yang damai, menyejukkan kalbu. Kondisi semacan ini akan memiliki dampak psikologis yang sangat dalam bagi penikmat lukisan tersebut khususnya siswa, yaitu dapat memberikan nuansa rekreatif yang dapat menciptakan suasana relaksasi bagi otot -otot syaraf yang tegang stress dan semacamnya. Hanya saja hal yang harus diperhatikan yaitu tata letak dan penempatan dari lukisan itu sendiri. Lukisan hendaknya ditata sedemikian rupa sehingga eksistensinya tidak memecahkan konsentrasi siswa pada saat menerima pembelajaran.

Hal semacam ini memang berbeda dan dapat menghapus cara -cara lama dalam memanfaatkan ruangan kelas pada hkususnya dan lingkungan sekitar agar lebih bermakna dan menyenangkan bagi siswa. untuk tetap berada di dalamnya. Sehingga dengan kondisi kelas yang semacam ini siswa dan guru atau siapa saja yang masuk ke kelas ini beranggapan dan merasa bahwa kelasku adalah istanaku, atau dia beranggapan bahwa sekolahku adalah sorgaku.

Penciptaan ruang kelas dan lingkungan sekolah yang sedemikian rupa memang memerlukan kerja ekstra, sebab tidak semua guru dapat melukis. Apabila hal itu terjadi tentu perlu mengundang orang yang pandai melukis. Upaya -upaya seperti yang telah dipaparkan oleh penulis tidak lain adalah suatu kiat agar siswa tidak bosan di sekolah, siswa lebih bergairah dalam pembelajaran yang pada akhirnya tentunya tercapainya prestasi siswa yang optimal sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Kiat - kiat diatas telah dilakukan oleh penulis dan merupakan upaya untuk berbagi pengalaman terhadap sesama rekan guru sekolah Dasar di Jawa Timur sehingga penyelenggaraan pendidikan di jawa Timur tidak terpaku pada hal - hal yang monoton dan konvensional. Alhamdulillah kiat - kiat dari penulis ini menjadikan tampilan sekolah lebih indah dan bernilai estetis, animo masyarakat untuk menyekolahkan putera - puterinya ke sekolah kami cukup banyak, dan untuk prestasi siswa khususnya IPA lumayan bagus ( ada peningkatan yang cukup signifikan ).
Pengaruh Kebudayaan Asing Terhadap Generasi Muda
Judul: Pengaruh Kebudayaan Asing Terhadap Generasi Muda
Bahan ini cocok untuk Sekolah Lanjutan TP bagian SEKOLAH / SCHOOLS.
Nama & E-mail (Penulis): Bhinuko Warih Danardono
Saya Mahasiswa di Fakultas Psikologi UST Jogjakarta
Topik: Import Budaya Luar Yang Dapat Mengganggu Citra Siswa
Tanggal: 26 September 2008

Inilah hal yang dapat kita pertanggung jawabkan mengenai pengaruh budaya asing yang masuk ke Indonesia. Mengapa kita harus selalu mengikuti jalur yang seperti ini apakah budaya asing dapat memberikan solusi tentang perbaikan jati diri setiap manusia khususnya siswa yang duduk di bangku sekolah. Karakter manusia itu berbeda-beda karena ini semua tergantung oleh sifat dan watak perilakunya masing-masing. Pada dasarnya dalam menyikapi tentang persoalan yang demikian ini kita justru cenderung pada bagaimana upaya penanggulangannya agar supaya jati diri kita sebagai manusia yang sejati tidak rusak. Fenomena alam sudah terlihat adanya musibah dimana-mana dari sinilah kita menginstropeksi diri tentang apa kesalahan kita karena dari sini kita dapat menggali dalam dalam bahwa sebenarnya yang patut disalahkan itu pihak asing ataukah kita sendiri. Insight terhadap anak didik khususnya remaja yang cenderung melakukan tindakan anarkhis dengan jalan kekerasan lewat cara entah itu tawuran,perkelahian perkosaan sampai berujung kriminal.

Inilah remaja yang sukanya seenaknya sendiri apakah kita harus mencontoh mereka juga. Dalam hal ini sudah diupayakan lewat jalan observasi di sekolah-sekolah yang intinya juga sama dimanapun sekolah yang terfavorit ataupun yang biasa juga melakukan tindakan kekerasan. Generasi muda menjadi mlempem, atau seperti hewan undur-undur yang jalannya mundur yang artinya dia jika berhadapan dengan orang jujur tidak mau jujur sehingga mampu menutupi kebohongannya. Jaman ini semakin berubah sampai berubahnya tidak mampu untuk bisa mengontrol mengenai manusia yang tinggal dibumi ini. Sebenarnya bumi langit adalah titipan dari yang maha kuasa tanpa tuhan menciptakan bumi langit dan isi-isinya kita tidak mungkin bisa hidup.

Semua Mahal,Tapi Tidak Tersalurkan Dengan Maksimal
Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan.
Nama & E-mail (Penulis): Jemi Hendri Sugito
Saya Masyarakat di Jogja
Tanggal: 14 Juni 2004
Judul Artikel: Semua Mahal tapi tidak tersalurkan dengan maksimal
Topik: Semua Mahal tapi tidak tersalurkan dengan maksimal

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Tidak terasa, sekarang saya sudah berumur 21 tahun. Seiring dengan semakin dewasanya saya dan tentu saja bertambahnya wawasan yang sedikit demi sedikit telah saya peroleh, akhirnya saya menyadari bahwa semua hal yang ada di sekitar kita (khususnya pendidikan di sekolah) ini terkait dengan faktor keuangan kita (kecuali keimanan kita). Saya mempunyai pandangan seperti itu karena saya dibesarkan di keluarga (yang bisa dibilang)yang keuangannya sangat terhambat. Saya merasakan mahalnya pendidikan setelah masuk ke jenjang perguruan tinggi ini. Sejauh yang saya tahu, Perguruan tinggi selalu saja menaikkan tarif SPP,SKS ataupun lainnya setiap tahun ajaran baru. Entah dengan SD/SMP/SMA/SMK, apakah juga melakukan "strategi keuangan" seperti itu juga.

Trus bagaimana nantinya adik-adik saya (kebetulan saya punya dua orang adik) atau anak-anak di Indonesia lainnya yang masih berumur muda (khususnya yang dari "keluarga lemah ekonomi" seperti saya) kalau nanti pengin kuliah? Apa orang tua mereka harus selalu menjual tanahnya untuk biaya pendidikan yang tinggi ini, trus akhirnya nanti nggak ada lagi yang harus dijual? Itupun OK saja kalaupun nantinya langsung bekerja dan dapat upah yang mencukupi, tidak sia-sia orang tua membiayai anak untuk sekolah mahal-mahal. Karena kita juga tahu kalau lapangan pekerjaan tidak selalu ada, bisa kita bandingkan antara jumlah orang yang menyelesaikan pendidikannya dengan lapangan pekerjaan yang tersedia setiap tahunnya, walaupun saya tidak bisa memastikannya dengan tepat, tapi jelas sekali bahwa jumlah orang yang menyelesaikan pendidikannya dari SMA/SMK(yang tidak melanjutkan ke PT atau mahasiswa yang sudah selesai) lebih besar daripada jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia tiap-tiap tahunnya. Maka dari itu, kita harus bersyukur, karena di Nusantara ini dipenuhi oleh orang-orang pinter yang sangat buanyak bahkan melebihi daya tampung yang tersedia. Sebenarnya masalah seperti ini sudah agak kadaluwarsa untuk saya ungkapkan, karena sudah dari dulu masyarakat kita menyuarakan masalah ini, tapi tidak tahu kenapa masih saja mengganjal dalam hati setiap "orang tua kere" yang ingin menyekolahkan anaknya setinggi langit.

Semoga tulisan ini dibaca oleh pemikir-pemikir jenius agar nantinya bisa menambah kegiatan mereka untuk membantu Negara dalam memajukan dan memurahkan pendidikan, serta menyediakan penyaluran tenaga kerja yang luas sehingga jumlah calon tenaga kerja dan lapangan pekerjaan nantinya seimbang dan setiap orang dapat makan-tidur dengan tenang.

Memang benar apa yang dituliskan dalam artikelnya bapak R. J. Kadarisman "KOK MUMET SEKOLAH", ya jawaban dari saya sebagai anak orang tua yang menyekolahkan saya, karena semua berbelit ke masalah keuangan. Mungkin kalau anak-anak SD, SMP, atau mungkin sebagian pelajar SMA/SMK belum mau/sempat memikirkannya.. Nanti kalu mereka sudah seumuran saya, mereka juga akan ikut mumet pak..:L
Teriamaksih kepada Pendidikan.net
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Anak Belajar,Orang Tua Belajar,akhirnya Masyarakat juga belajar
Judul: Anak Belajar, Orang tua Belajar , Akhirnya Masyarakat juga Belajar
Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian SEKOLAH / SCHOOLS.
Nama & E-mail (Penulis): Octavia Wury
Saya Guru di Sekolah Murah Pondok Anak Pertiwi
Topik: Belajar untuk semua
Tanggal: 13 April 2008

Sekarang ini Sekolah identik dengan sebuah gedung mewah yang tertutup oleh tembok - tembok beton yang tinggi dan MAHAL.. Sebuah momok yang menakutkan bagi para orang tua yang kurang mampu yang ingin menyekolahkan anaknya di tempat yang memiliki kualitas yang nomer satu... Melihat anak - anak pemulung dan pengemis dipinggiran jalan kota jakarta membuat saya berpikir,Pendidikan berkualitas saat ini begitu menakutkan untuk mereka yang hanya mengandalkan gelas - gelas plastik... Karena alasan itulah kuputuskan untuk lepas dari semua rutinitasku sebagai seorang guru disebuah sekolah yang cukup ternama dan mengabdikan seluruh ilmu yang kumiliki untuk sebuah Pondok di wilayah Gandul,Cinere yang menampung anak - anak kaum marjinal. Pemiliknya adalah seorang Ibu,yang telah mengabdikan dirinya untuk anak -anak selama 23 tahun,dia bukan dari keluarga kaya, dia hanya memiliki semangat yang akhirnya ia wujudkan lewat sekolah ini. Ditempat ini kami mendidik anak tidak hanya kemampuan akademis tapi juga karakternya..Kami membiasakan mereka untuk selalu mengatakan "Aku BISA,Aku PINTAR" karena buat kami kecerdasan dalam akademis bisa dicapai dengan maksimal saat anak betul-betul menikmati PROSES dalam belajar mereka. Dan terbukti walaupun sekolah kami hanya sebuah pondok kecil, semangat belajar yang mereka miliki SANGAT BESAR.....